Optimalisasi Penyelesaian Sengketa Dalam Ekonomi Syariah Melalui Litigasi di Pengadilan Agama
Saat ini
semakin berkembangnya praktik bisnis yang ‘berbau’ syariah, dari mulai jasa
keuangan mikro hingga dalam bentuk perbankan. Selain itu, minat masyarakat
dalam melakukan transaksi bisnis dan peningkatan permodalan usaha mereka pada
jasa keuangan syariah semakin baik hal ini dapat dilihat pada laporan tahunan
2009 dua perbankan syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah
Mandiri yang memperlihatkan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR)
masing-masing 89,08 dan 83,07 persen, dan walaupun rasio pembiayaan bermasalah
terhadap total pembiayaan (NPL) rata-rata masih di kisaran angka 1,65 persen. walaupun
nilai NPL yang masih tergolong rendah, risiko terjadinya wanprestasi dari salah
satu pihak dimungkinkan dapat terjadi. Sehingga perlu adanya bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Opsi
Penyelesaian Sengketa Bisnis
Jika hukum benda memiliki suatu sistem tertutup, maka hukum
perikatan menganut sistem
terbuka (Aanvullenrecht). Artinya, para pihak boleh membuat aturan-aturan sendiri yang menyimpang
dari pasal-pasal perjanjian. Akan tetapi jika mereka tidak mengatur sendiri,
berarti mengenai perkara tersebut, mereka akan tunduk kepada undang-undang. Sistem
terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari pasal 1338
KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (pacta sunt servanda).
Dari asas inilah para pihak yang melakukan suatu akad[1]
dapat menentukan penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi.
Terdapat dua opsi dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah, yakni melalui proses litigasi di pengadilan atau non litigasi.
Pengadilan Agama adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa dan mengadili sengketa
ekonomi syariah. Hal ini sesuai dengan asas personalitas keislaman dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 49 huruf
i Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 angka 1 Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah).
Sedangkan jalur non litigasi meliputi bentuk alternatif
penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dan arbitrase. Alternative
Dispute Resolution (ADR) merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun
1999). Dan jika
melalui arbitrase harus
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)[2]
sebagai badan yang berkompeten menegakkan hukum Islam di
Indonesia.
Kewenangan
Absolut Pengadilan Agama dan Optimalisasi Penyelesaian Sengketa
Banyak sengketa berbau bisnis muncul. Sudah jadi rahasia umum,
kalangan pengusaha sering mengecam peradilan sebagai institusi yang kurang dipercaya;
putusan pengadilan tidak sejalan dengan iklim investasi, dan beragam argumen lain. Argumen apapun yang dikemukakan,
intinya berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap peradilan
sehingga sering menganggap remeh putusan pengadilan.
Pengadilan Agama memiliki kewenangan mutlak untuk
menyelesaikan perkara ekonomi
syari’ah. Hal ini didasarkan atas ketentuan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.”. Sebelum diundangkannya UU No.3
Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan tertentu untuk memeriksa
dan mengadili perkara ekonomi syari’ah. meskipun Pengadilan Agama telah diberi
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi
syari’ah, perangkat hukum materiil maupun perangkat hukum formil perlu terus
dibenahi. Lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan PERMA No.
02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tidak serta merta
mencukupi kebutuhan hakim dalam melakukan tugas-tugas barunya, sehingga perlu dilakukan
‘inovasi’ hukum guna memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
‘Inovasi’ tersebut adalah pertama:
dengan melakukan penafsiran argumentum per analogian (analogi), yakni dengan memperluas
berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syari’ah karena
adanya persamaan-persamaan antara keduanya; kedua: dengan menerapkan asas lex
posterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang
lama. Dengan demikian, maka ketentuanketentuan hukum lama yang dahulu
tidak berlaku pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya
kesamaan-kesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan
dengan ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama
maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan adanya UU No.3 Tahun
2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syari’ah. Dengan adanya
‘inovasi’ ini diharapakan dapat memberikan cakupan kewenangan yang luas bagi
pengadilan agama dalam upaya penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Dengan
perluasan kewenangan ini diharapkan para hakim di pengadilan agama dapat
memperkaya intelektualitas mereka dalam pemahaman masalah-masalah yang sering
terjadi di berbagai bidang bisnis dan dapat menggali hukumnya, sehingga
penyelesaian sengketa dapat optimal dan tidak terdapat pandangan atau argumen
yang memandang remeh putusan pengadilan.
[1]
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, macam-macam akad dapat ditemukan pada pasal 20.
[2]
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) berdiri secara otonom dan
independen sebagai salah satu instrumen
hukum yang menyelesaikan perselisihan antar pihak, baik yang datang dari dalam
lingkungan bank syariah, asuransi
syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim
pun dapat memanfaatkan Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sepanjang yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam
menyelesaikan sengketa. Lihat
Achmad Fauzi, 2009, Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah. La_Riba: Jurnal Ekonomi Islam Vol. III No. 1 Juli
2009
Komentar
Posting Komentar